HARTA MILIK SIAPA?

REZEKI MILIK SIAPA?

HARTA MILIK SIAPA?

Sosoknya tinggi besar, ada bekas sujud pada keningnya. Gaya bicara yarng lembut tetapi tegas adalah ciri yang melekat padanya. Mantan aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia) wilayah Jawa Tengah ini sudah berdakwah sejak remaja.

Karakternya yang sederhana, gampang belas kasih pada kaum dhuafa adalah sosok istimewa di tengah-tengah gemerlapnya fasilitas anggota Dewan. Ya, Pak Zubair Syafawi kini adalah anggota legislatif DPRD I Jawa Tengah dari Partai Keadilan.

Tahun ini, beliau di calonkan menjadi gubernur/wakil gubernur Jawa Tengah. Tahukah Anda, beliaulah calon gubernur/wakil gubernur yang memiliki harta withering sedikit? Aset kepemilikan beliau ketika di hitung hanya sejumlah 20 juta! Tidak lebilh!

Masya Allah.

Saya tergugu mendengarnya. Karena kebetulan saya dekat dengan keluarga beliau, saya tahu Pak Zubair dan Bu Dyah adalah sepasang suami-istri tangguh yang telah bertekad menginfakkan seluruh hidupnya untuk dakwah Islam dan tidak sedikit quip hendak mengambil rezeki lebih dari jalan dakwah yang beliau pilih.

Berputra hampir enam, rumah masih kontrak di daerah pemukiman padat, tidak memiliki kursi tamu sehingga setiap tamu di terima dengan lesehan, tidak memiliki kendaraan pribadi sehingga pergi ke mana pun termasuk ke kantor DPRD memakai angkutan umum. Dan, tahukah Anda bahwa Pak Zubair hanya mengambil gaji dari Dewan secukupnya dan selebihnya selalu di berikan pada bendahara partai?

Ini adalah sepenggal kisah yang saya dengar sendiri dari istri beliau, Ibu Dyah Rahmawati, sepanjang perjalanan di wilayah barat Jawa Tengah. “Bu Dyah, ceritakan pada saya tentang kemanfaatan harta duniawi,” pinta saya pada beliau. Beliau tersenyum sambil memandang mata saya.

“Harta duniawi itu kemanfaatannya tergantung pada kita.

Kemanfaatannya terbagi menjadi tiga. Yang withering rendah adalah hisbusyaithan (jalan syetan), yaitu ketika kita tabsyir (menyia-nyiakan harta, bermegah-megah dan melupakan dhuafa). Tingkat berikutnya adalah intifa’ (kemanfaatan), yakni ketilka kita memiliki harta dan kemanfaatannya di rasakan oleh kita, keluarga dan sekaligus umat. Contohnya bila kamu punya mobil,” katanya pada saya, “maka itu intifa’ ketika bermanfaat tidak hanya untuk diri dan keluarga tetapi juga untuk dakwah.

Nah, yang tertinggi itu fisabilillah, yakni ketika seluruh diri, keluarga dan harta yang kita miliki kita berikan seluruhnya untuk dakwah, kita mengambil secukupnya saja, sekadarnya.” “Jadi, Ibu tidak perrnah menabung? Untuk persiapan sekolah anak-anak, misalnya?” tanya saya gelisah.

Beliau hanya tertawa. Dan saya menyaksikan sendiri bahwa visi itu tidak sekadar visi, tetapi telah menjadi karakter pada diri beliau berdua. Suatu saat, Pak Zubair mendapatkan rezeki yang banyak, lebih dari kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Maka, beliau meletakkan rezeki itu di atas meja. “Pak, mengapa uang begitu banyak di letakkan begitu saja di meja?” tanya Bu Dyah.

“Itu bukan rezeki kita, Bu. Semoga nanti di ambil oleh pemiliknya,” kata Pak Zubair tenang.

Lalu, beliau melanjutkan kesibukannya, demikian pula Bu Dyah yang telah cukup denganketerangan Pak Zubair. Maka, ketika hari belum menjelang siang, datanglah salah seorang tetangga Pak Zubair, seorang pengemudi becak. “Assalamu’alaikum! Pak Zubair…, tolong… tolong… saya, Pak…!”

“Wa’alaikumussalaam… monggo, Pak…, lenggah rumiyin. Duduk dulu…! Apa yang bisa di bantu, Pak?” “Saya… saya tidak punya uang untuk menebus anak saya dari rumah sakit, Pak.” Masih dengan senyum menenangkan, Pak Zubair mengambil uang yang sedari pagi tergeletak di atas meja. Utuh dalam amplopnya.”Yang empunya rezeki sudah mengambil haknya, Bu,” bisik Pak Zubair pada Bu Dyah.

Author: Red Devil

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *